Aku Wanita Simpanan Sekaligus Panggilan

Namaku Mika, Sudah sangat klise rasanya memberikan alasan tentang mengapa akhirnya aku jadi wanita simpanan dan panggilan. Uang. Itulah alasan satu-satunya, atau paling tidak yang paling utama. Jutaan wanita panggilan di dunia ini bekerja untuk yang satu itu. Uang. Tak lebih tak kurang. Tetapi tidak semua wanita panggilan berawal dari kebutuhan akan uang. Aku kehilangan keperawananku 8 tahun yang lalu, bukan karena aku butuh uang. Aku memberikan keperawananku karena orangtuaku yang membutuhkan kepastian.


Entah kepastian apa, tetapi mereka selalu bilang bahwa aku harus hidup layak, karenanya harus menikahi seseorang yang memiliki kepastian. Seorang pemilik perusahaan besar. Orangtuaku menganggap perusahaan adalah salah satu bentuk kepastian, padahal akhirnya perusahaan juga bisa bangkrut. Tiga tahun setelah perkawinan itu, Arman -suamiku- tewas dalam kecelakaan lalulintas. Ia pulang dari sebuah pertemuan pemilik saham dalam keadaan mabuk. Pertemuan itu sendiri konon sangat kacau, karena berakhir dengan kesepakatan untuk tidak melanjutkan perusahaan yang dibebani hutang jutaan dollar. Suamiku tewas oleh galaunya sendiri, setelah sadar bahwa ia tak bisa mempertahankan perusahaan yang diwarisinya dari orangtuanya.

idupan ekonomi ku langsung hancur. Orangtuaku minta maaf, tetapi untuk apa minta maaf kepadaku? Orang tua Arman ikut terpukul, karena suamiku adalah anak laki-laki tunggal. Kakak dan adiknya semua telah menikah, ikut suami-suami mereka hidup jauh dari sini. Orangtuaku maupun orangtua Arman sama-sama tak bisa menanggungku lagi. Untunglah kami belum punya anak, karena Arman belum mau punya anak. Kehidupan psikologis ku juga hancur. Terutama karena aku terlalu bodoh membiarkan diriku bergantung sepenuhnya kepada suami. Aku tidak tahu, sampai sekarang, apakah aku mencintainya. Tetapi aku menggantungkan diri kepadanya, luar-dalam. Ia adalah pria pertama yang hadir dalam kehidupanku. Aku baru berusia 17 waktu menikah, dia berusia 26. Selama sekolah, aku belum pernah pacaran, walau selusin lebih teman pria berusaha mendekati. Aku cuma pernah sekali dicium, itu pun karena si nakal penciumnya menipu ku dengan pura-pura akan berbisik. Aku tak menikmati sama sekali ciuman yang cuma 2 detik itu. Dengan Arman, aku masuk ke dunia suami-istri seperti seorang buta dituntun seseorang yang terlatih untuk menuntun orang buta. Malam pertama kami tak kan pernah kulupakan. Ia begitu sabar menuntunku, membangkitkan sesuatu yang kemudian tak pernah tidur lagi! Baiknya kuakui saja, seks adalah sesuatu yang sangat kusukai, dan Arman lah yang memberikan kesukaan itu pertama kali. Aku berhutang sepanjang hayat pada pria yang telah membawakan padaku sensasi indah itu. Perasaan ku padanya tidaklah bisa dibilang cinta, terutama karena aku sendiri tak tahu apa itu cinta. Rupanya, tubuhku menyukainya, tetapi hatiku tak pernah bisa memutuskan. Gairahku cepat terbangkit kalau disentuhnya, tetapi perasaanku kepadanya biasa-biasa saja, seperti perasaanku kepada lelaki lain. Ia tidak seganteng bintang film pujaanku, tidak segagah teman sekelasku, tidak semenarik seseorang yang pernah kulihat di sebuah mal. Tetapi almarhum suamiku adalah pecinta ulung. Di atas ranjang, ia bisa membuatku ketagihan. Percumbuan kami tak pernah sebentar, kecuali pada malam pertama atau ketika ia sedang tidak enak badan (dua atau tiga kali saja sepanjang perkawinan permainan cinta kami berlangsung 10 menit). Aku selalu bisa mengalami klimaks berkali-kali, dan suamiku selalu sanggup menunggu sampai aku melewati setidaknya 3 klimaks. Belum pernah rasanya kami bersetubuh kurang dari 1 jam. Sebulan setelah menikah, suamiku memperkenalkan kenikmatan jilatan lidahnya. Suatu malam ia membuatku terduduk di sofa, mengangakan selanganku, dan menjilati bagian-bagian sensitif kewanitaanku, membuatku menggelepar-gelepar. Sejak itu aku selalu menjaga kebersihan dan keharuman selangkanganku, karena setiap hari aku ingin dijilati di sana, walau tentu tak setiap hari harapanku itu terpenuhi. Namun setidaknya setengah dari orgasme-orgasmeku datang dari lidahnya yang cekatan. Membayangkan lidahnya saja bisa membuatku merinding sendiri. Almarhum pula yang bisa menyetubuhiku dengan berkepanjangan, dan memberikan padaku kenikmatan berkesinambungan. Pada awalnya aku beranggapan bahwa orgasme hanya datang dalam interval-interval. Tetapi suatu malam Arman mencumbuku 2 jam penuh, tanpa sekali pun melepaskan kejantanannya dariku. Ia menggenjot-genjotkan tubuhnya dengan berbagai irama dan dari berbagai posisi. Ia menindihku dan menggenjot pelan dan panjang. Ia membalikkan tubuhku dan menyetubuhiku dari belakang. Ia membuatku bergantung di pinggir ranjang dan menggejot dari samping. Ia melakukan segalanya dengan seksama, sementara aku sejak awal dilanda orgasme. Tak berhenti sampai akhirnya ia letih sendiri, dua jam kemudian. Kini, setelah ia meninggal dan dikubur, aku seperti layang-layang putus talinya. Pada hari pemakaman aku menangis sejadi-jadinya, walau aku tak pernah mengerti untuk apa aku menangis. Apakah karena kehilangan sumber nafkah, ataukah karena kehilangan sumber kenikmatan? Atau apa? Yang terang, setelah Arman meninggal, perlahan-lahan keadaan ekonomi ku memburuk. Aku tidak punya pengetahuan apa-apa. Sekolah ku hanya SMA, tanpa keahlian lain selain membuat sayur asam. Orangtua dan mertuaku pun tak berdaya, mereka sudah terlalu tua untuk menanggungku. Kakak-kakak ku tak pernah hidup lebih baik dari ku, sehingga rasanya berlebihan kalau bergantung kepadanya. Pekerjaan pertamaku sangat membuatku tertekan. Sebuah restoran membutuhkan pelayan, dan seorang teman Arman (pria yang matanya selalu nakal memandangku) membawaku ke sana. Pemilik restoran memuji penampilanku (bukan sombong, wajah dan tubuhku sanggup membuat pria berputar 180 derajat kalau berpapasan). Segera aku diterimanya, diberi seragam yang agak sempit (tapi justru menonjolkan keseksianku). Gajiku langsung disamakan dengan seorang yang telah berpengalaman, dan aku langsung dimusuhi teman-teman sesama pelayan. Pekerjaan itu cuma berusia 5 hari. Pemilik restoran terlalu sering memanggilku ke kantornya, dengan alasan ingin berbincang-bincang. Tetapi matanya itu! Matanya selalu menatap bokong dan dada ku di setiap kesempatan. Pada hari keenam, aku tidak hadir. Pada hari ketujuh, pemilik restoran mengirimkan amplop gaji sebulan penuh lewat seorang supir. Ada surat pendek mengatakan ia ingin bertemu denganku di sebuah tempat, yang ternyata adalah sebuah motel. Surat itu kusobek sekecil-kecilnya. Tetapi uang di dalam amplop kuterima dengan lega. Setidaknya, untuk sebulan ini dapur ku tetap mengepul. Ayah mertuaku kemudian menelpon seorang sahabatnya, manajer sebuah perusahaan patungan Indonesia – Kanada. Seminggu kemudian aku menjadi pegawai administrasi di sana. Tugas pertamaku, membuat kopi untuk Alen Smith, Direktur Pemasaran Luar Negeri, dan merapikan meja kerjanya yang selalu dipenuhi surat dan dokumen. Tetapi aku mengerjakan semua ini dengan lebih antusias. Alen tidak mata keranjang, dan kantor ini terlalu sibuk untuk memperhatikan seorang wanita tak berpengalaman. Sebentar saja aku sudah kerasan, walau gajinya lebih kecil dari gaji di restoran. Masa berkabungku akhirnya berlalu. Kalau aku mengatakan masa berkabung, bukanlah berarti sepanjang masa itu aku merasa sedih kehilangan Arman. Aku sendiri heran, dan memarahi diriku sendiri, betapa kurang-ajarnya seorang janda tidak meratapi suaminya. Tetapi apa yang harus kulakukan? Aku memang tidak bisa meratapi kematiannya, karena seluruh waktuku habis untuk memikirkan bagaimana menyambung hidupku sendiri tanpa dia. Masa berkabung bagiku bukanlah masa bersedih kehilangan suami, melainkan masa yang dipenuhi ketidak-pastian. Nah, masa itulah yang kini hilang, setelah aku akhirnya bekerja di kantor Alen. Sebulan setelah masa percobaan, aku tidak lagi mengantar kopi atau membersihkan meja. Aku mulai mengetik, mengerjakan kegiatan kesekretariatan di bawah bimbingan Mba Nungki. Hidupku tiba-tiba berubah total. Mba Nungki menjadikan aku seorang calon sekretaris yang baik. Tetapi, bukan karena itu hidupku berubah total. Mba Nungki juga menawarkan sebuah kehidupan mewah, dan aku bersenang-hati menerima tawarannya. Itulah awal aku menjadi seperti apa adanya aku sekarang ini: seorang pekerja seks. Ikuti cerita-cerita ku selanjutnya. Janganlah terlalu kaget jika aku terlalu berterus-terang! Seks Tanpa Suami (1) Delapan bulan setelah suamiku tiada, sendi-sendi kehidupan ku mulai tersusun kembali. Pekerjaan sebagai sekretaris memberikan padaku nafkah yang cukup, kalau lah tidak bisa dikatakan pas-pasan. Atas anjuran mertuaku, aku menjual rumah yang dulu dibeli mendiang untuk tempat tinggal kami. Rumah itu tidak besar, dan terjual dengan harga tidak terlalu tinggi karena lokasinya tak seberapa populer. Tapi uang hasil penjualannya dapat kutabung sebagian, dan sebagian lagi kupakai untuk mengontrak sebuah paviliun di tengah kota, tak terlalu jauh dari kantor. Aku hidup sendirian, dengan cara yang jauh lebih sederhana daripada ketika masih bersuami. Sebagian besar gajiku habis untuk makan sehari-hari dan membeli pakaian. Sewaktu masih bersuami, aku tak begitu peduli dengan pakaian, sehingga tak banyak membelinya. Kini, setelah bekerja, aku memerlukan pakaian-pakaian yang sesuai. Selain itu, aku juga mulai menata masa depan: aku sekolah lagi, kursus bahasa Inggris. Setiap akhir bulan, hanya sedikit yang bisa ku sisakan untuk menambah tabungan. Paviliun tempat tinggal ku tertata apik. Ada satu kamar tidur, dapur kecil, kamar mandi dan ruang tamu. Sepi sekali rasanya hidup sendirian pada bulan-bulan pertama. Tetapi entah kenapa, aku menyukai kesendirian itu. Terlebih lagi, baru kali ini aku merasa mengurus diriku sendiri, setelah sejak lahir diurus orang lain. Bahkan semasa remaja sampai menikah pun hidupku selalu diintervensi orang lain. Kini aku bebas, dan ternyata melegakan! Kehidupan seks ku kini muncul kembali, setelah lama tak tersentuh. Aku tak punya teman khusus pria, dan perlahan-lahan kebutuhan seks aku penuhi secara mandiri. Betul-betul lengkap rasanya kesendirian ku; tak ada suami pemberi nafkah, tak ada laki-laki pemuas dahaga birahi. Semuanya kujalankan sendiri saja. Jika birahi ku datang, pada saat sendirian menonton televisi, aku akan menutup semua korden. Volume tivi ku besarkan, lampu aku matikan. Duduk di sofa, aku angkat kedua kaki ku, bersandar santai ke jok yang empuk. Di dalam rumah, aku tak pernah memakai pakaian dalam, dan daster longgar adalah satu-satunya pembalut tubuhku. Dengan kaki terkangkang dan mata setengah terpejam, aku menikmati tangan dan jariku sendiri. Aku biasanya mulai dengan mengelus-elus daerah sekitar kewanitaan ku yang terasa hangat. Telapak tangaku dengan ringan menekan-nekan bagian atas, tempat bulu-bulu halus yang menghitam lebat. Pada saat seperti itu, kedua tangan ku aktif di bawah sana. Yang satu mengusap-usap bagian atas, yang lain meraba-raba bibir-bibirnya, menguak sedikit dan menyentuh-nyentuh bagian dalam yang cepat sekali menjadi basah. Dengan pangkal ibu jari, ku tekan-tekan pula klitoris ku, yang selalu tersembunyi di balik kulit kenyal. Aku sering mendesis nikmat setiap kali klitoris itu seperti tergelincir ke kiri ke kanan akibat perlakuan tanganku. Dengan cepat, rasa hangat menyebar ke seluruh tubuh ku, dan cairan-cairan cinta terasa merayap ke bawah, ke liang kewanitaan ku. Mata ku akan terpejam, menikmati kegelian itu. Kadang-kadang aku membayangkan almarhum suami ku, tetapi akhir-akhir ini semakin sulit rasanya. Aku lebih mudah membayangkan sembarang pria, atau bintang film pujaanku, atau sama sekali seorang yang tak pernah ku temui. Seseorang yang hanya ada dalam hayal ku. Tak berapa lama, bibir kewanitaan ku terasa menebal, dan saling menguak seperti bunga yang merekah. Dengan jari tengah dari tangan yang lain, ku telusuri celah-celah kewanitaanku. Aku tidak pernah punya kuku panjang, karena selain menghalangi aku mengetik dengan cepat, juga karena aku malas merawatnya. Tanpa kuku, jari tengah ku dapat leluasa menimbulkan geli-gatal di bawah sana. Turun ke bawah, sampai mendekati lubang pelepasan ku, lalu naik lagi, melewati liang senggama yang mulai berdenyut-denyut lemah, melewati lubang air seni, terus … naik lebih tinggi, bertemu telapak tangan ku yang lain yang masih mengusap-usap klitoris ku. Oh,.. betapa nikmat permainan yang perlahan-lahan dan sepenuhnya dalam kendali ku ini. Terkadang jauh lebih nikmat daripada dilakukan orang lain! Lama-lama, aku tak tahan lagi. Sekaligus dua jari ku masukkan ke dalam liang kewanitaan ku. Aku memutar-mutar kedua jari itu di dalam, agar dinding-dinding kewanitaan ku mendapat sentuhan-sentuhan. Mula-mula sentuhan itu cukup ringan saja. Tetapi lalu aku mulai mengerang, karena geli-gatal semakin memenuhi seluruh tubuhku, dan rasanya ingin digaruk-diurut di bawah sana. Terutama di dinding bagian atas, tempat sebuah bagian yang sangat sensitif, entah bagian apa namanya. Bagian itu membuat tubuhku mengejang jika tersentuh jari. Ke sanalah jari tengah ku menuju, mengurut-urut dan menekan-nekan. Semakin lama semakin cepat dan keras. Aku bahkan sampai merasa perlu mengangkat pinggulku, membuat posisi duduk ku semakin terkangkang. Pada saat seperti itu, tak ada yang bisa menghentikanku. Kalau telpon berdering, aku biarkan. Kalau pun ada yang mengetuk pintu, barangkali juga akan ku diamkan (tetapi belum pernah ada tamu pada saat seperti ini!). Mungkin gempa bumi pun tak kan mampu mengehentikanku. Tangan ku bergerak dengan cepat dan keras. Mata ku terpejam erat, mulut ku tak berhenti mengerang, karena itu aku perlu mengeraskan volume televisi. Lalu klimaks akan datang dengan cepat, menyerbu seluruh tubuhku, berawal dari dalam liang kewanitaanku, tempat kedua jariku (kadang-kadang tiga jari) mengaduk-aduk. Tanganku yang lain tak lagi sanggup berada di atas klitoris, karena pada saat klimaks aku perlu berpegangan ke sofa, kalau tidak ingin jatuh bergelimpangan ke lantai. Klimaks ku selalu menggelora, selalu membuatku mengejang-menggelinjang hebat. Kedua kaki ku akhirnya terhempas ke lantai, menegang dan menekan seperti hendak melompat. Tubuh ku berguncang. Nafas ku memburu. Kenikmatan ku tak mudah tergambarkan kata-kata. Lalu timbul perasaan nyaman, tetapi gatal-geli belum hilang. Maka biasanya aku langsung mematikan tivi dan pergi ke kamar tidur. Di ranjang, aku melanjutkan lagi kegiatan itu, kali ini dengan bantuan bantal guling. Kujepit erat bantal guling yang terbungkus kain halus-licin. Ku gesek-gesekan kewanitaan ku di sana, sehingga sering kali bungkus bantal harus kucuci keesokan paginya. Setelah menggesek-gesek dengan bantal guling, kembali ku masukkan jari-jari tanganku. Dengan cepat jari-jari itu membawakan pada ku klimaks yang berikutnya, yang seringkali lebih nikmat daripada yang pertama, apalagi karena ku lakukan sambil tidur, dengan kedua kaki terangkat sampai kedua lutut menyentuh payudara ku. Baru lah kemudian aku tertidur dengan rasa letih yang nyaman. Otot-otot tubuhku terasa bagai sehabis dipijat. Seperti sehabis berolahraga, lalu dipijat seorang yang ahli. Nyaman dan damai sekali tidur ku, dengan senyum kepuasan membayang tipis di bibirku. Biasanya aku baru terbangun di pagi hari. Sendirian. Tanpa siapa pun di sisiku. Kamar mandi adalah tempat lain yang bisa memberikan keleluasaan memenuhi hasrat birahi ku kala sendirian. Ada bak mandi dan shower yang dilengkapi extension (selang panjang) di kamar mandi ku. Sambil menyabuni tubuhku, seringkali aku berlama-lama di kedua bukit membusung di dadaku. Aku mempermainkan jari-jari ku di setiap putingku, memutar-mutar di sekitarnya, membuat bulu roma ku merinding. Terkadang aku gemas sendiri, ku remas-remas kedua payudara ku yang dipenuhi busa sabun. Duh, enak sekali rasanya campuran rasa geli-gatal dan sedikit perih.Kalau birahi semakin memuncak, aku sambilkan pula mengusap-usap kewanitaan ku. Menggosok-gosok bagian luarnya, semakin lama semakin cepat. Busa sabun wangi segera menggunung di bagian itu, sebagian berleleran turun di kedua pahaku yang mulus, perlahan-lahan ke bawah melewati lutut ku yang agak gemetar. Gabungan rasa yang datang dari payudara dan kewanitaan ku sungguh sedap, membuat aku seperti melayang-layang, dan kedua mataku pun terpejam, kepalaku agak mendongak. Setelah beberapa saat, aku ambil shower dari gantungannya. Tombol air kuputar maksimal, sehingga semprotan air sangat kuat memancar. Shower itu telah ku stel agar pancarannya tidak menyebar, sehingga alirannya tunggal dan kuat. Dengan semprotan itu lah aku membersihkan busa-busa di atas kewanitaan ku. Tetapi tujuan ku bukan menghapus busa itu saja. Air ku arahkan ke klitoris yang kini seperti mengintip dari tempat persembunyianya. Oh,.. nikmat sekali rasanya ketika air menerpa daging kecil yang menonjol berwarna agak kemerahan itu. Aku terpaksa menyender ke bak mandi, karena rasa geli-gatal membuat tubuh ku bergetar. Satu tangan ku pakai menguak kewanitaan ku agar klitoris terus terpampang, sementara tangan yang lain memegang shower dan mengarahkannya ke sana. Kadang-kadang, ku putar-putar shower itu agar air tidak langsung mengenai klitoris, melainkan seperti mengusap-usap pinggirannya. Duh,.. enak sekali rasanya! Cukup lama aku merangsang bagian itu dengan air. Rasa dingin bercampur geli-gatal membuat tubuh ku membara. Aneh, memang. Bukan api yang membuat ku panas, tetapi justru dinginnya air. Pernah ku coba dengan air hangat, ternyata rasanya berbeda, agak perih dan tidak nyaman. Dengan air dingin, birahi ku justru cepat bangkit. Entah kenapa, mungkin itulah misteri alam. Tetapi rangsangan di klitoris ku tak pernah bisa membawa klimaks. Aku selalu membutuhkan sesuatu yang dapat menyeruak ke dalam kewanitaan ku. Aku tak tahan menghadapi serbuan geli-gatal yang membuat liang kewanitaan ku seperti berdecap-decap minta diisi. Maka biasanya ku ambil botol shampo yang entah mengapa dibuat mirip kejantanan laki-laki. Apakah pabriknya sengaja, atau ini cuma kebetulan? Aku tak tahu. Yang kutahu, bentuknya bulat panjang, dengan tutup yang persis menyerupai ujung kejantanan seorang pria. Ukurannya tidak terlalu besar. Terbuat dari plastik lembut dan licin, botol itu sungguh-sungguh membuat ku tergoda. Pertama-tama aku cuma memasukkan ujungnya yang membola. Rasanya enak sekali, menyeruak-menyerobot liang kewanitaan ku yang telah basah oleh air maupun cairan bening licin. Sambil terus mengalirkan air ke atas klitoris, aku keluar-masukkan ujung itu. Oh, aku merasakan kenikmatan luar biasa, dan kedua kaki ku pun semakin memisahkan diri. Aku tetap tersandar, dan bahkan lalu merosot turun, setengah berjongkok. Akibatnya, botol itu semakin melesak ke dalam, dan aku tersentak kaget. Bukan karena sakit, tetapi karena nikmat sekali rasanya ketika tubuh botol itu masuk setengahnya. Aku pun semakin berani, memasuk-keluarkan benda itu semakin cepat. Kurasakan klimaks mulai datang bagai angin topan menderu-deru. Gerakan ku semakin kacau tak terkendali, dan akhirnya aku terhempas duduk di lantai dengan kaki mengangkang. Botol shampo sempat terlepas, tetapi segera kumasukkan lagi sambil tetap duduk. Sekarang tiga perempat benda itu sudah menyeruak ke dalam, membuat seluruh liang kewanitaan ku terasa geli-gatal semata. Aku mendorong-dorongnya lebih dalam, mengeluar-masukkan benda itu lebih cepat lagi. Lebih cepat lagi…… Lebih cepat lagi……. Lebih cepat lagi …… Lalu, datanglah puncak kenikmatan itu. Tubuhku mengejang-menggeliat. Shower terlepas dari pegangan, jatuh berdenting di lantai. Tangan ku yang memegang botol bergerak sangat cepat, dan tanpa sadar aku menjerit, “Aaaaaaah…!!” ketika gelombang besar orgasme ku datang menyerbu. Aku terkapar di lantai kamar mandi, tubuh ku merosot sampai hampir terlentang. Botol shampo terlempar entah kemana. Nafasku memburu. Erangan ku tenggelam oleh suara air yang masih memancar keras dari shower. Lama kemudian aku baru bisa bangkit dan meneruskan mandi. Itu pun kalau aku tidak tergoda untuk kembali menyemprotkan shower ke bawah sana. Tak jarang aku mengulangi lagi proses yang sama, setelah membersihkan botol shampo dengan seksama. Pernah pula aku khawatir terluka oleh benda plastik itu, sehingga aku membeli kondom di apotik dan mengenakannya ke botol itu. Belakangan aku tahu, bahwa ada alat khusus yang bernama dildo. Tetapi aku tak tahu di mana mendapatkan alat itu. Lagipula, setelah melihat gambarnya, aku merasa botol shampo dibalut kondom juga sama saja.Aku sempat berganti shampo, dan -jangan heran, ya!- aku memilih bentuk kemasan terlebih dahulu sebelum memilih isinya!